Oleh:
Mohammad Afief Hasan
uatu malam, Tomen kebetulan menyaksikan dan
mendengarkan peristiwa yang menggundahkan hati. Sabtu malam ahad yang penuh
sedih, malu setengah duka dan berlumuran keluhan caci maki.
Untuk kesekian kalinya terlontar dalam
mulut Tomen seperti dulu ketika malaikat bertanya pada awal penciptaan manusia:
“Ya Allah untuk apa sih, Engkau ciptakan manusia, yang toh nanti akan
bikin rusak bumi dan bertebaran penyalah gunaan wewenang...?”
Dan terngiang-ngiang lagi jawaban Tuhan:
“Aku tahu, dan engkau tak tahu...!” Maka, senantiasa harus kita cari cara
memandang yang lebih detail dan bersikap dewasa terhadap kehidupan ini. Kenapa
harus ada anak-anak muda yang dihargai sedemikian rupa, memforsir tenaga,
pikiran, waktu di malam hari setelah mereka di pagi sampai petang mencari ilmu
di sekolah tinggi? Kenapa – di tempat lainpada saat yang sama – sekian manusia
dengan nikmat menikmati hidup bersama keluarga, orang terkasih ataupun
menyibukkan diri dengan kenikmatan dunia lainnya? Ada apa sih, hidup manusia
ini? Apa, sih yang mereka cari? Apa yang mereka pertahankan? Sedemikian agung
dan indahkah yang dipertahankan dengan cara sedemikian mungkin keras dan penuh
pertahanan tubuh yang terbatas serta rentan sakit itu?
Sekumpulan anak-anak muda yang polos.
Memproseskan diri dengan sungguh-sungguh, mereka berkumpul pelataran kampus
yang cukup uwwahh. Anak-anak muda yang polos, berani, sehat, dan masih
belum pintar, merasa tidak puas dengan kehidupan sewajarnya. Kalau si anak muda
ini bertindak diluar kewajaran yang justru menguntungkan bangsa, negara dan
sekolah tinggi uwwahh ini khususnya. Tetapi mereka tetap saja merasa tak
aman sentosa dalam berproses tadi. Mereka hanya ingin tidak mengiba saja pada
setiap hak yang seharusnya mereka dapatkan, yang justru seharusnya mereka
peroleh bagian yang nyaman, aman, sentosa dan mewah dari kekayaan kampus ini.
Sekumpulan anak-anak muda yang polos itu
beramai-ramai memecah kebisuan kampus dengan menyanyikan lagu kehormatan.
Kemudian, berjamaah salat di bangunan besar di sebelahnya dengan menunjukkan
bahwa mereka tidak lupa kepada Tuhan Pencipta manusia. Kemudian, terus
bersemangat lagi untuk melanjutkan potongan kegiatan dalam prosesnya itu.
Kemudian dengan kepolosan mereka bisa menemukan di mana akan meletakkan hasil penalaran
dan pelaksanaan mereka.
Kita, bukan memulainya, tapi seolah-olah
penciptaan manusia itu dikacaukan oleh pentungan kakak dari Qabil. Seolah-olah
mereka terikat oleh kemandekan tanggung jawab dari setiap kebijakan – ya
seperti itulah Ibrahim yang dibakar dalam api amat panas, demi kepuasan hasil
kebijakan – meskipun demikian, jaman ini sudah samar dari asal tanggung jawab
manusia diciptakan, sudah samar! Struktur sosial sudah demikian kompleks.
Terkadang, Habil tidak puas setelah melihat melihat adiknya mati. Dan terkadang
kita harus rela menjadi kayu untuk membakar Ibrahim, terkadang kita adalah api
yang menyala-nyala...!
Entah siapa yang membisiki, tiba-tiba saja
anak muda yang saling berentang tangan dibentak, dihardik, dicaci, ditangisi,
ditutupi, dimusiki, dimarahi, didiami, dipanasi, didingini, disifati, digurau,
diceritai, dan didididi lainnya. Terkadang, mereka ingin berbaur dengan
intelektual, birokrasi kampus dan inilah sebenarnya yang menjadi sifat mereka
agar mereka mengerti dan mendapatkan hak mereka, dengan pertimbangan bahwa
mereka merasa sudah memberikan kewajiban mereka. Tetapi, apa sekarang sudah
demikian?
Sesekali kumpulan anak-anak muda itu
membayangkan seorang Harun al Rasyid. Dia berputar-putar keliling kota –
seorang diri – hanya dengan ajudan perpakaian preman di belakangnya. Terkadang
mereka ingin melarikan diri dari berbagai persoalan dan merasakan irama dari
denyut jantung tanah airku. Tetapi persoalan-persoalan itu tidak bisa lepas
dari mereka, karena mereka mengerti kewajiban sebagai anak muda – yakni
generasi tangguh, cerdas dan sehat – yang tak ingin memiliki sebuah bayangan
yang besar dan gelap yang akan terus mengikuti mereka dibelakang hari. Mereka
tidak bisa lepas dari kewajiban mereka. Mereka tak pernah bisa memaafkan diri
mereka apabila tanggung jawab itu keluar dari genggamannya. Mereka tak bisa
meninggalkannya.
Tomen mendengarkan dengan seksama
percakapan mereka. Dia mendengarkan penjelasanpenjelasan, gundahan, kesedihan
dan duka mereka. Dan dia merasakan kekuatan hidup mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sesekali dia diam-diam pergi, untuk tidak ditemani seorangpun. Dengan
berkeliling di tengah-tengah kesepian yang tak seorang pun memerhatikan
dirinya. Akhirnya, untuk memancing percakapan, dia bertanya kepada seorang laki-laki
muda, “Dari mana anda mengambil kesempatan untuk berproses di sini?”
Sebelum dia menjawab, terdengar suara,
“He..He..teriak perempuan,” “Itu, kan suara pertanyaan yang tak perlu dijawab!”
“sambil tertawa ringan laki-laki muda menjawab, tahukah anda apa yang terjadi?”
“Bagaimanapun waktu dan keadaan ini, hatiku akan menjadi tetap tenang, dan
waktu akan terus berlalu seperti halnya kebijakan yang hanya akan menjadi
kebijakan yang tak berpijak sama sekali.” Dan Tomen langsung menjawab, “Baik!”
Orang bilang, anak-anak muda ini polos.
Tapi bagi tomen mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan dan
tanggung jawab. Mereka mudah bereaksi dengan baik bahkan lebih baik terhadap
keadaan, mereka menemukan kesegaran hidup. Ingat, mereka tidak berbicara dalam
arti jasmaniah, mereka sangat tertarik pada pandangan hidup yang diterima
secara alamiah pada segala apa yang menyenangkan perasaan.
Tomen bersama sekumpulan anak-anak muda
yang sama-sama ingin menjadi warga negara dan keluarga sekolah tinggi yang baik.
Mereka ingin menaati kebijakan dengan melaksanakan kewajiban dan
sebanyak-banyak mungkin mendengar berita-berita kebaikan. Baik berita kebaikan
dari kitab suci, dari buku-buku akhlak dan moral, dari karya-karya intelektual,
petuah guru, pidato pejabat, birokrasi, maupun dari obrolan sehari-hari di
kampung, di desa, di pasar, di gerdu, di kampus atau bahkan dari sekolah
tinggi ini.
Rupannya selalu ada contoh yang amat sukar
dimengerti. Sering, kalau sekumpulan anak-anak muda ini berbuat baik malah susah.
Kalau mereka berbuat jujur, malah celaka. Kalau mereka membela kebenaran, malah
dicurigai. Kalau mereka memperjuangkan hak, malah diaggap peminta, kalau mereka
menerapkan kemuliaan, malah dianggap melawan, kalau mereka mengemukakan
keluhuran dan memperjuangkan kewajiban, malah dianggap memberontak.
Dalam hidup selalu ada pertentangan dalam
rumusan apa yang disebut baik, jujur, mulia, benar, konstitusional, edukatif,
atau apa sajalah. Ini kembali lagi kepada mata siapa yang memandangnya.
Bergantung telinga siapa yang mendengarkannya. Bergantung hati siapa yang
merasakannya. Bergantung mulut siapa yang mengucapkannya. Bergantung siapa yang
punya kepentingannya. Bergantung siapa yang berkuasa! Lantas...kita harus mesti
menaati
yang mana?
“...Penciptaan manusia memiliki banyak
rahasia, bahkan malaikatpun tidak tahu”. Potongan seperti Tomen hanya
termenung, selalu akhirnya pada suatu kesimpulan yang diyakininya paling benar.
Yakni, manusia harus melihat dengan petunjuk Tuhan. Melihat dan menilai serta
mengerjakan suatu secara mata dan tangan Tuhan. Sebab, mata, telinga, tangan,
kaki, hidung, kulit, jiwa ini dan segala sesuatunya hanya milik-Nya. Maka, apa
hak dan kewajiban manusia terhadap Tuhan itu bergantung pula terhadap hak dan
kewajiban antar sesama manusia.
Namun, sudah dialami sekumpulan anak-anak
muda ini diciptakan untuk tidak melihat kehidupan dan segala persoalannya itu
dari hak dan kewajibannya saja, melainkan bagaimana mereka bersikap arif terhadap
keduannya. “Tomen menjadi bingung, maka ia hanya kembali pulang, mandi, shalat
dan senantiasa mengucapkan Alhamdulillah..., Astaghfirullah...,
Subhanallah..., ya Jabbar, ya Qahhar”{}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar